Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sumatera Utara, Ridwan Hamid Sitompul menyatakan kekecewaannya atas sikap arogan aparat kepolisian dalam mengamankan aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa Cipayung Plus Sumatera Utara.
“Ini catatan buruk bagi institusi kepolisian yang mestinya melindungi warga negara, bukan menganiaya mereka. Kami menuntut pencopotan Kapolda Sumatera Utara dan pemberian sanksi tegas bagi oknum yang melakukan kekerasan ini. Jika tidak, kami bersama elemen mahasiswa akan menggalang aksi besar untuk menuntut pembubaran institusi kepolisian yang telah menyalahgunakan kekuasaannya,”ucapnya saat memberikan keterangannya, Kamis (28/8/2025).
Masyarakat dan kalangan mahasiswa kini menunggu respons dari pihak kepolisian dan pemerintah terkait tindakan represif yang dinilai melanggar hak asasi manusia ini. Situasi ini menjadi sorotan serius dalam konteks pelaksanaan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa Cipayung Plus Sumatera Utara pada tanggal 26 dan 27 Agustus di depan Gedung DPRD Sumatera Utara berujung pada tindakan represif aparat kepolisian yang menuai kecaman luas. Mahasiswa yang menuntut pembubaran DPR-RI dengan alasan tidak efektif dalam mewakili aspirasi rakyat, justru mendapat perlakuan kekerasan dari polisi saat melakukan unjuk rasa secara damai.
Diketahui Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM Sumatera Utara, Rahmat Taufiq Pardede, mengalami penganiayaan saat aksi berlangsung. Ia dipukul hingga wajahnya memar. Tidak hanya itu, salah satu kader IMM, Muhammad Fahri, harus dilarikan ke Rumah Sakit Imelda setelah menerima pukulan keras yang menyebabkan luka di kepala dan membutuhkan empat jahitan. Bahkan, rekan mahasiswa dari HMI pun tak luput dari tindakan kekerasan, dipukul dan dibanting oleh aparat keamanan.
Kejadian pada tanggal 26 Agustus 2025 sangat tragis, di mana mahasiswa dipukuli dengan kekerasan yang dianggap tidak berperikemanusiaan, hingga salah seorang dari mereka mengalami kejang-kejang dan tidak sadarkan diri. Kekerasan ini berlanjut pada aksi kedua tanggal 27 Agustus dengan pola yang sama.