Kontras tajam terlihat antara kinerja pengendalian inflasi Sumatera Utara (Sumut) pada masa kepemimpinan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dan Bobby Nasution.
Jika di era Edy Sumut sempat diganjar penghargaan nasional sebagai provinsi terbaik dalam pengendalian inflasi se-Sumatera, kini di bawah Bobby, Sumut justru tercatat sebagai provinsi dengan inflasi tertinggi di Indonesia.
Pada tahun 2020-2022, Edy Rahmayadi berhasil menempatkan Sumut sebagai salah satu provinsi dengan capaian inflasi terendah. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumut kala itu bahkan menerima TPID Award 2020 dari Presiden Joko Widodo, dinobatkan sebagai TPID Provinsi Terbaik se-Sumatera.
Prestasi itu diakui oleh Bank Indonesia dan Kementerian Dalam Negeri, bahkan Sumut memperoleh bonus insentif fiskal sebesar Rp10,32 miliar dari Kementerian Keuangan atas capaian inflasi terkendali.
Edy kala itu menyebut, keberhasilan Sumut bukan semata karena pasar murah, tapi karena sinkronisasi antara data, distribusi, dan produksi pangan yang dijaga dari hulu ke hilir.
“Kita punya sistem kerja, bukan sekadar seremonial. Kalau pangan rusak di hulu, maka inflasi pasti naik. Kita jaga dari sana,” ujar Edy Rahmayadi kala itu dalam Rakornas TPID, 2021.
Namun situasi berbalik di masa Bobby Nasution, yang kini menjabat Gubernur Sumut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2025, inflasi Sumut mencapai 5,32 %, tertinggi di Indonesia, mengungguli provinsi-provinsi lain di luar Jawa.
Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Sumut, Poppy Marulita Hutagalung, bahkan mengakui bahwa upaya yang telah dilakukan seperti 524 kali gerakan pasar murah dan tanam serentak cabai belum memberi hasil signifikan.
“Memang sudah banyak yang dilakukan, tapi hasilnya belum maksimal. Cuaca dan pola panen juga memengaruhi,” kata Poppy di Kantor Gubernur Sumut, Jumat (10/10).
Namun publik menilai, alasan tersebut tidak cukup menjelaskan kenapa Sumut yang dulu dikagumi karena stabilitas harga, kini justru paling buruk secara nasional.
Ironisnya, dalam upaya menekan harga cabai, Pemprov Sumut di bawah Bobby justru membeli 50 ton cabai dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Langkah itu dinilai kontradiktif, karena menandakan ketergantungan pasokan dari luar daerah, bukan pemberdayaan petani lokal.
Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) Sutrisno Pangaribuan menilai strategi tersebut tidak berkelanjutan.
“Kalau solusi inflasi hanya dengan mendatangkan cabai dari luar, berarti tata niaga lokal kita gagal. Dulu Edy menekan inflasi dengan memperkuat hulu, sekarang justru fokus ke intervensi jangka pendek,” kata Sutrisno kepada wartawan.
Padahal, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) seharusnya berfungsi memantau distribusi, stok, dan harga komoditas utama seperti beras dan cabai. Namun sejumlah pengamat menilai, TPID Sumut kini kehilangan arah karena kurang koordinasi dengan kabupaten/kota.
Sementara itu, sebagian besar penyumbang inflasi Sumut berasal dari Kota Medan dan Deli Serdang, yang mencapai 72 persen dari total inflasi provinsi. Ironisnya, kedua daerah itu merupakan basis utama pemerintahan Bobby.
Capaian inflasi tertinggi ini, lanjut Sutrisno membuat banyak pihak membandingkan langsung dengan era sebelumnya.
“Dulu kita disanjung karena inflasi terkendali, sekarang malah jadi bahan tertawaan nasional. Ini kemunduran nyata,” ungkapnya.
Sutrisno menilai, kegagalan Bobby menunjukkan bahwa popularitas politik tidak bisa menggantikan kapasitas teknokratis dalam mengelola ekonomi daerah.
“Inflasi itu soal sistem, bukan pencitraan. Kalau semua hanya dikemas sebagai program seremonial, hasilnya ya seperti sekarang,” pungkasnya.