Kasus dugaan penganiayaan terhadap dua wartawan oleh Kepala Desa Pegagan Julu VI, Edward Sorianto Sihombing, terus memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Kali ini, sorotan tajam datang dari Ketua Lembaga Pemantau Pemerhati Pembangunan Daerah (LP3D) Tapanuli Raya, Rahlan Sanrico Lumbantobing, yang menyebut tindakan sang kades sebagai aksi premanisme dan tidak beradab.
“Perilaku kasar, arogan, dan bergaya preman seperti itu sangat memalukan. Apalagi dilakukan oleh seorang kepala desa yang seharusnya jadi panutan di tengah masyarakat,” tegas Sanrico dalam keterangannya.
Ia menyebut, insiden tersebut mencederai semangat demokrasi dan mencoreng wibawa jabatan publik. Menurutnya, kepala desa adalah pelayan masyarakat, bukan penguasa yang bisa bertindak sewenang-wenang.
Pers dan LSM Bukan Musuh, Tapi Mitra Kritis
Lebih lanjut, Sanrico mengingatkan bahwa wartawan dan LSM memiliki peran penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
“Pers dan LSM adalah pilar demokrasi. Mereka bukan musuh pejabat publik, tapi mitra kritis yang menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai koridor hukum dan kepentingan rakyat,” tegasnya.
Ia menekankan lima fungsi vital pers dan LSM, mulai dari pengawasan anggaran, menyuarakan aspirasi rakyat, mencegah KKN, hingga memberikan edukasi kepada publik agar lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Desak Tes Urine dan Evaluasi Psikologis Kades
Tak hanya itu, Ketua LP3D itu juga menyoroti kondisi kejiwaan sang kades yang dinilai tidak stabil saat berhadapan dengan wartawan. Ia menyarankan agar aparat melakukan tes urine terhadap Kepala Desa Pegagan Julu VI untuk memastikan tindakannya tidak dipengaruhi oleh zat berbahaya.
“Ledakan emosi yang tak terkendali dan kekerasan fisik terhadap wartawan harus dicurigai. Tes urine dan evaluasi psikologis diperlukan demi kepentingan publik,” ujarnya.
Polisi Diminta Bertindak Tegas: Jangan Ada Kesan Pembiaran
Sanrico mendesak Polres Dairi dan Polda Sumatera Utara untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan menindak pelaku sesuai hukum yang berlaku.
Ia menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, terutama Pasal 18 ayat (1), yang menyebut setiap orang yang menghalangi kerja pers dapat dipidana maksimal 2 tahun atau didenda hingga Rp500 juta.
“Ini bukan lagi soal pribadi. Ini soal prinsip demokrasi. Jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk. Kami minta polisi bertindak tegas, tidak tebang pilih,” tutup Sanrico.