Konflik lahan di SDI Al Falah 02 Pagi/03 Pagi, Jakarta Barat, kian memanas setelah mencuat dugaan pemalsuan dokumen surat keterangan waris. Sengketa yang melibatkan Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al Falah (YTIA), sejumlah ahli waris almarhum H. Muchtar Bin Usman, hingga indikasi keterlibatan oknum aparat pemerintah ini menambah daftar panjang persoalan hukum di dunia pendidikan.
Zaky Mubarok, salah satu ahli waris, menuturkan permasalahan berawal sejak Maret 2017 ketika keluarga besar almarhum H. Abdullah Bin H. Muchtar membicarakan pengelolaan dan status tanah warisan (milik H Muchtar Bin Usman). Polemik berlanjut dalam beberapa forum keluarga di Pondok Pesantren Al Falah, yang diduga menjadi ajang “mufakat jahat” berupa transaksi sepihak dan ilegal atas tanah keluarga.
“Tanah seluas 3.100 meter persegi disebut dijual Rp 2 miliar. Namun pembagiannya janggal. Tujuh ahli waris hanya menerima Rp133 juta per orang, sementara dua ahli waris lain justru meraup hingga Rp 1,5-2,0 miliar per orang,” ungkap Zaky melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Senin, 29 September 2025.
Lebih jauh, Zaky menyebut hak Nakiah Binti H. Muchtar dipotong didepan umum dan ditahan, sementara Hj. Farida sama sekali belum menerima bagiannya. Kondisi lainnya memunculkan dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen dengan melibatkan pejabat kelurahan maupun kecamatan setempat (pada kesepakatan ilegal dan juga tidak sesuai Hukum Waris Islam di Keluarga Almarhum H Bahrodji Bin H Muchtar pada tanggal 21 Februari 2025 dan 14 April 2025).
**Laporan Tak Digubris
Permasalahan kian rumit setelah muncul sederet temuan pelanggaran lain:
1. Sengketa Kepemilikan Lahan
Lahan SDI Al Falah tercatat atas nama H. Muchtar Bin Usman (Girik C No. 182 Persil 8 D1). Pihak keluarga menegaskan tidak pernah ada Akta Jual Beli (AJB) sah maupun dokumen lain yang membuktikan tanah itu milik yayasan.
2. Izin Sekolah dan Yayasan Kadaluarsa
Izin operasional SDI Al Falah 02/03 Pagi dilaporkan kedaluwarsa sejak 30 Juni 2016. Demikian pula status hukum YTIA dengan nomor AHU-991.AH.01.04 Tahun 2011 dipertanyakan keabsahannya.
3. Pembangunan Tanpa Izin
Pada Agustus 2025, Dinas Cipta Karya dan Pertanahan Jakarta Barat menemukan pembangunan ruko dan renovasi sekolah tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Pihak yayasan bahkan diduga memalsukan dokumen.
4. Laporan ke Instansi Terkait
Berbagai pengaduan sudah masuk ke Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama maupun ATR/BPN. Namun, hingga kini belum ada langkah tegas.
“Kami sudah melaporkan banyak hal, tapi tidak ada kejelasan. Maling ayam dihukum, maling tanah kok aman?” sindir Zaky.
Selain dugaan pemalsuan dokumen, ada pula laporan adanya tawaran uang Rp 2 miliar untuk menghentikan penyelidikan serta intimidasi kepada keluarga yang mencari keadilan. Bahkan, Mantan Anggota DPRD DKI Jakarta, H. Nasrullah, pada saat aktif menjabat pernah menyatakan YTIA berpotensi ditutup karena sarat pelanggaran hukum. Namun pernyataan itu tak kunjung ditindaklanjuti. Terlebih Said Al Khudry merupakan salah satu Putra H. Nasrullah, dimana saat ini menjabat Dewan Kota Jakarta Barat pun bungkam.
Kasus ini juga menyeret nama sejumlah ahli waris yang diduga berperan dalam penjualan tanah secara sepihak sejak 1980-an. Ada pula tudingan manipulasi pembagian waris, pembunuhan, penyalahgunaan wewenang, hingga praktik suap terhadap tokoh agama.
“Masalah bukan hanya tanah 3.100 meter yang dirampas yayasan, tapi juga keserakahan, penipuan, bahkan jejak kriminal lama (adanya pembunuhan, lalu menjual tanah Keluarga secara sepihak) dalam keluarga besar H. Muchtar Bin Usman yang tidak pernah tuntas,” ujar Zaky.
**Dampak Lebih Luas
Ketidakjelasan status hukum lahan dan operasional sekolah tidak hanya merugikan ahli waris, tetapi juga menimbulkan keresahan publik. Keberlangsungan pendidikan ratusan siswa dipertaruhkan, sementara kredibilitas yayasan sebagai lembaga pendidikan semakin tercoreng.
Keluarga mendesak aparat penegak hukum segera mengambil tindakan tegas, termasuk menyelidiki dugaan keterlibatan pejabat pemerintah. Mereka menuntut penyelesaian berdasarkan hukum negara dan syariat Islam.
“Ini soal keadilan. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Jangan ambil hak orang atau serakah waris,” tegas Zaky. ***