Michael Haratua Rajagukguk, pria kelahiran pematangsiantar 23 Mey 1992 ini memilih untuk mendedikasikan dirinya mengajar anak-anak suku Asmat di pedalaman Papua. Kehadirannya diujung timur Indonesia ini saat mengikuti suatu program pemerintah. Program SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Tertinggal, dan Terdalam) Kemenristek-Dikti pada tahun 2015 .
Kini sekitar 256 anak di Papua bergabun di Rumah Belajar Kampung Cahaya yang didirikannya. Awal program ini dimulai, tak lebih dari sepuluh orang anak yang bergabung. Namun seiring waktu dan berbagai cara yang telah dilakukan dalam mengajak anak serta orang tua, untuk mengizinkan anaknya belajar . Rumah Belajar Kampung Cahaya pun kian bersinar.
Michael Haratua Rajagukguk, yang lebih akrab disapa pertama sekali menapakkan kakinya di bumi Papua pada 22 Agustus 2015 . Ia mengaku awalnya sedikit terkejut ketika mengunjungi Distrik Agats-Asmat. Ia menemukan bbermainanyak anak-anak usia sekolah lumpur dan mengais sampah untuk mencari makan.Perlahan ia lalu menelusuri jalan desa hingga sampai ke kampung Simsagar.
Di sana ia menemukan banyak anak usia 3-16 tahun yang putus sekolah dan bahkan sebagian belum pernah duduk di bangku sekolah. Menjalani pola hidup tidak sehat serta kekurangan gizi. Berangkat dari semua hal yang telah ia saksikan, Pria yang dulu bersekolah di Taman Kanak-kanak St Lusia dan lusus SD Katholik Cinta Rakyat II ini pun merencanakan untuk membuat rumah belajar di sana.
Setelah melaului sejumlah proses yang cukup panjang, Rumah Belajar Kampung Cahaya pun berdiri. Persoalan belum selesai sampai disana, sebab bukan hal mudah untuik mengajak anak-anak untuk ikut belajar. Belum lagi meyakinkan orangtua anak tentang pentingnya pendidikan. `
“Tidak mudah mengajak mereka datang ke Rumah Belajar. Istilah mereka, bagaimana belajar kalau dapur belum mengepul. Banyak di antara anak-anak itu yang harus membantu orang tuanya mencari makanan. Mereka biasa pergi ke hutan dan ke laut dalam waktu lama, sehingga tidak bisa ke sekolah, ”jelas Michael kepada Idnewscorner.com
Michael, anak sulung dari lima bersaudara ini pun mulai menjalankan misinya. Berbekal sejumlah ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari sekolahnya di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 5 Pematangsiantar ia mulai mendidik dan mengajar anak di sana.
Selain keinginan hati untuk berbagi, latar belakang pendidikan menurutnya memiliki peran hingga mendorongnya untuk mengajar anak di sana. Michael meraih gelar sarjana pendidikan Universitas Negeri Medan.
“Saya lulusan sarjana pendidikan abang, jadi saya ada kerinduan bisa mengabdi di pedalaman Papua untuk bisa mendidik ade-ade kita yang ada di Papua, “ terang Michael
Michael pun memiliki harapan, agar kelak masyarakat ditempatnya saat ini dapat mengerti betapa pentingnya pendidikan. Sehingga mereka mau meluangkan waktu belajar dan bersekolah . Tak hanya me memilih pergi ke hutan mencari makan.
“Berharap mereka bisa tertanam pemikiran/mindset tentang pentingnya pendidikan hingga mereka tidak hanya memilih pergi ke hutan mencari makan,” harapnya.
Selain itu ia pun berharap beberapa waktu ke depan ada lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum serta menghajarkan kearifan lokal serta memiliki asrama. Disampaikan nya bahwa Rumah Belajar kampung Cahaya ini tidak terikat dan terkait ke lembaga manapun.
Ia juga menyampaikan bahwa tenaga pengajar yang bergabung di rumah belajar ini pun telah silih berganti. Saat ini ada dua orang penduduk lokal yang menetap dan konsisten serta dibantu pastor. Kadang ada beberapa guru yang ikut, tapi tidak selalu sebab mereka bergerak secara sukarela.
“Semoga segera berdiri satu lembaga pendidikan khusus suku asmat yang mempunyai kurikulum dan satuan pendidikan yang memuat kearifan lokal asmat dan pastinya berasrama. Mengapa? ya supaya mereka bisa bersekolah dan belajar nyaman dan tidak ada rasa minder/minor yang hari ini menyebabkan mereka malas bersekolah dan belajar,” demikian ia memanadang hal yang penting untuk dilakukan dalam mensukseskan program belajar di pedalaman Papua.
Selain menaruh perhatian terhadap pendidikan di Papua, pria yang menghabiskan masa kecilnya di Tomuan, Pematangsiantar ini pun berharap agar dunia pendidikan di kota kelahirannya dapat lebih baik. Besar pula harapnya agar icon Kota Pematangsiantar sebagai kota pendidikan dapat dipertahankan.
“ Kalau kita mau sejajar dengan bangsa-bangsa lain, ya kita harus benahi pendidikan kita. Pendidikan ini selalu berkembang, jadi kita ya yang ada dilingkaran stakeholder pendidikan harus selalu belajar dan berbenah untuk menjadi yang terbaik supaya tidak tertinggal, “ tulis Michael
Ia juga menyampaikan kepada anak- anak agar memanfaatkan kesempatan belajar yang ada. Sebab banyak anak yang tak mendapatkan kesempatan yang sama. Ia juga bergarap agar penyelenggara pendidikan di Pematangsiantar agar tak melulu soal profit dan bisnis.
“Untuk adek-adek, kesempatan dan akses untuk mendapatkan pendidikan itu tidak bisa semua dapatkan dengan baik. Jadi manfaatkan semaksimal mungkin, karena di luar sana banyak yang ingin bersekolah tapi tidak mempunyai kesempatan yang sama. Pendidikan di Pematangsiantar juga harus menjaga nilai-nilai pendidikan. Jangan hanya mengedepankan bisnis, biar cap kota pelajar itu tidak hilang ataupun di pertanyakan,” sampainya.
Saat ini Michael Haratua Rajagukguk, menjadi salah satu nominator penerima penghargaan dari Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2017. Sebuah penghargaan bagi generasi muda yang tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh penjuru tanah air. Informasi tentang SATU Indonesia Award dapat diakses pada Situs : SATU Indonesia Awards 2017
Apresiasi diberikan kepada lima anak bangsa( Vote Michael Haratua Rajagukguk) atas setiap perjuangan di bidang: Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, Kesehatan, Teknologi dan satu Kelompok yang mewakili lima kategori tersebut. (Vay)
Foto : Michael Haratua Rajagukguk
Discussion about this post