Parasnya cantik, dengan kacamata bertengger di hidung. Saat pertama berkenalan dengan penulis ia membalas jabat tangan dengan senyum. Namun di balik senyumnya terlihat jelas beban pikiran berat yang dipikulnya.
Emi, begitu ia memperkenalkan dirinya. Setelah sedikit basa-basi ia pun mulai bercerita tentang kondisi yang dialaminya. Dimana sebelumnya sang suami membuat keterangan tentang kondisi rumah tangga mereka kepada idnewscorner.com, pasca dilaporkan mertua.
Dengan mata berkaca-kaca ia pun menuturkan babak demi babak perjalanan pernikahan keduanya. Berharap menggapai kebahagiaan dari pernikahannya, namun kebalikannya yang ia terima.
Gagal di pernikahan pertama, tidak membuat dr Maria Emi Sinaga kapok. Tak terlalu lama setelah gugatan perceraiannya putus di pengadilan, ia menikah lagi.
Pria pilihannya itu seorang duda, tanpa anak. Namanya Roy Sartana Napitupulu, berstatus Aparat Sipil Negara (ASN) di Pemkab Simalungun. Sementara Emi, dari pernikahan sebelumnya memiliki dua anak yang sesuai putusan pengadilan hak asuh keduanya berada pada Emi.

Pernikahan pasangan tersebut bisa dikatakan tanpa melalui proses pacaran. Keduanya berkenalan Oktober, melalui jejaring sosial Facebook, setelah sebelumnya Roy mengundang akun Emi untuk menjalin pertemanan..
Setelah Emi menerima undangan pertemanan, Roy berkomentar di salah satu postingan Emi.
“Saat itu aku memposting foto mobil Honda Jazz milikku yang lama,” sebut wanita berkulit putih itu.
Awalnya, percakapan mereka hanya biasa saja. Namun kemudian komunikasi semakin intens melalui layanan messenger.
Saat itu, Emi menganggap Roy teman yang asyik dan menyenangkan. Hingga kemudian keduanya sepakat bertemu langsung.
“Kami bertemu langsung tak lama setelah Roy wisuda S-2-nya. Masih di bulan Oktober juga,” tukas Emi.
Setelah bertemu, mereka memutuskan menjalin kasih. Setelah orangtua kedua belah pihak setuju, tanpa menunggu lama-lama, bulan depannya, tepatnya 18 November 2016 keduanya menikah dan diberkati di salah satu gereja.
Setelah pemberkatan di gereja, pesta adat diselenggarakan di salah satu gedung di Jalan Sisingamangaraja Pematangsiantar. Usai pesta, pasangan pengantin baru itu pun menikmati masa bulan madu di Lombok. Selama seminggu lebih, mereka benar-benar menikmati kebersamaan.
Sebelum menikah, sambung Emi, ia dan Roy sepakat mereka tinggal di rumah orangtua Roy hanya seminggu. Selanjutnya mereka manjae (tinggal terpisah dari orangtua, baik di rumah milik sendiri maupun mengontrak).
Namun ternyata, Roy tak kunjung membawa Emi pindah rumah. Keduanya tetap tinggal di rumah orangtua Roy, di Simpang Panei, Kabupaten Simalungun. Sementara orangtua Emi menetap di Jalan Viyata Yuda Pematangsiantar.
Kendati kecewa dengan Roy yang masih mengajaknya tetap tinggal di rumah orangtua, demi kerukunan rumah tangganya, Emi menerima. Hari-hari mereka jalani. Setiap hari kerja, Emi berangkat ke Pematangsiantar dan Roy menuju Raya, tempat tugasnya.
Namun kerukunan dan keharmonisan rumah tangga keduanya mulai tersandung kerikil-kerikil. Sebulan setelah pernikahan, keduanya mulai sering rebut. Kata Emi, ia tidak suka melihat gaya pergaulan Roy.
“Sehari-hari, dia (Roy) sukanya bergaul dengan emak-emak. Bahkan dia ikut bergosip dan membully,” kata Emi.
Emi pun kerap mengingatkan Roy agar mengubah kebiasaannya.
“Kamu jangan sering kali nongkrong dengan para sosialita,” demikian selalu Emi mengingatkan suaminya.
Namun biasanya Roy langsung emosi. Kemarahannya meledak. Bahkan ia memaki-maki Emi dengan kata-kata kasar, tak jarang menyebutkan nama hewan.
“Nggak ada hak-mu ngatur aku! Bukan uangmu yang kumakan!” bentak Roy seperti ditirukan Emi.
Setiap kali keduanya bertengkar, menurut Emi, orangtua Roy bukannya melerai. Mereka malah membela Roy dan meminta Emi mengalah.
“Biarlah dia nongkrong-nongkrong di luar, kita di sini cari uang,” begitu selalu ucapan kedua orangtua Roy, seperti ditirukan Emi.
Ditambahkan Emi, di rumah itu, selain dia dan Roy serta kedua mertuanya, juga selalu ada perawat yang silih berganti. Kebetulan ibunya Roy yang berprofesi sebagai bidan membuka praktek di rumah
Masih kata Emi, jika ia dan Roy bertengkar, suaminya itu memilih keluar rumah. Yang sering, sepengetahuan Emi, Roy ke Medan. Bahkan hingga beberapa hari tidak pulang.
“Kalau dia ke Medan dan ngga pulang-pulang, nomor handphone-ku pasti diblokirnya. Jadi aku sama sekali nggak bisa menghubungi dia,” beber Emi.
Pertengkaran kerap terjadi, bahkan hingga pergantian tahun. Di tahun yang baru, yang sebagian orang biasanya berusaha menjadi lebih baik, tidak demikian dengan rumah tangga Emi. Parahnya, masih di bulan Januari, keduanya sudah bertengkar lagi, dan Roy tidak pulang dua malam.
Sama seperti sebelum-sebelumnya. Ketika Roy tiba di rumah setelah tidak pulang-pulang, ia selalu bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa. Emi sendiri, berusaha tetap sabar dan memilih diam.
“Kalau dia pergi, biasanya aku menelepon temannya untuk menyuruh Roy pulang<’ tukasnya.
Diungkapkan Emi, sebenarnya ia tidak terlalu mempermasalahkan aktivitas Roy yang sering nongkrong-nongkrong di kafe bersama teman-temannya. Yang membuat Emi kesal, suaminya itu sering kali melibatkan diri dalam masalah orang lain. Bahkan di dunia maya (Facebook), jika ada perempuan-perempuan yang saling sindir, Roy kerap berkomentar dan akhirnya ia terlibat.
Saking seringnya terlibat dalam pertikaian kaum Hawa, ada yang menjuluki Roy sebagai si dua jambar. Di beberapa postingan di Facebook, sejumlah perempuan mengejek Roy sebagai si dua jambar.
Bahkan, kata Emi, saat dia hamil, pernah ada postingan seorang ibu yang isinya kira-kira: kok bisa ya si dua jambar istrinya bunting.
Membaca itu, jelas saja Emi tersinggung dan marah. Segera, Emi menelepon si pemilik postingan dan meminta klarifikasi. Juga meminta agar yang bersangkutan tidak mengulangi postingan serupa lagi.
Hari terus berlalu. Emi yang kemudian diketahui positif hamil, berusaha menjaga kesehatan dirinya dan anak yang dikandungnya.
Namun, saat kehamilannya baru di trimester pertama, atau sekitar bulan April, Emi bermasalah dengan ibu Roy.
Kebetulan, lanjut Emi, setelah ia dan Roy menikah, ibu mertuanya meminta dirinya membuka praktik di klinik bidan miliknya. Suatu hari, ada pasien datang berobat. Ketika itu, Emi sedang berada di kamar tidur.
Lalu ia dipanggil dan diminta mengobati pasien tersebut. Setelah pasien tersebut diobati, mertua menyodorkan kuitansi kosong untuk ditandatangani oleh Emi.
“Teken dulu ini, mamaknya (pasien) ini kerja di perusahaan, jadi biar bisa diklaim biaya berobatnya,” kata ibu mertua, seperti diulangi Emi.
Tak lama, si ibu mertua kembali menyodorkan kuitansi kosong untuk ditandatangani juga. Emi mengaku tidak tahu untuk apa.
“Karena saya malas ribut, saya teken saja. Meski saat itu sebenarnya saya sudah emosi,” sebut Emi.
Usai menandatangani dua lembar kuitansi kosong, Emi disuruh kembali ke kamar. Di kamar, Emi menelepon Roy yang saat itu berada di luar rumah.
“Apa maksud inang (mertua, red) suruh aku neken kuitansi dua lembar? Padahal yang kuobati satu orang,” kata Emi kepada Roy, dan diakui Emi baru kali kejadian seperti itu.
Ternyata, si ibu mertua mendengar kata-kata Emi tersebut. Ia langsung mendekati kamar Emi dan memaki menantunya itu dari luar kamar.
“Emi, ******nam!” teriak si ibu mertua.
“Kau kira udah hebat kali doktermu itu ya! Tutup mata (kalau mau) jadi dokter! Lebih hebat lagi anakku, (lulusan) AKABRI!” mertua Emi terus mengomel.
“Pantaslah kau diceraikan suamimu ya… Kalu pulang pun kau ke rumah orangtuamu, tidak akan diterima!” teriak ibu mertua kembali, seperti ditirukan Emi.
Mendengar teriakan ibu mertuanya, Emi beranjak dan membuka pintu kamar.
“Jangan inang bilang tutup mata untuk jadi dokter. Buktinya inang paksa saya neken kuitansi dua lembar,” kata Emi.
“Jangan bilang juga aku diceraikan, tapi saya penggugat. Lihat anakmu, dari empat anakmu, dua sudah pernah cerai, dan satu borumu ini sirang so sirang,” kata Emi tegas.
Kemudian, Emi memutuskan pulang ke rumah orangtuanya di Pematangsiantar. Di rumah orangtuanya, Emi menceritakan semua yang dialaminya kepada ibu kandungnya.
“Tapi aku hanya berani cerita ke mamak. Sementara ke bapak, aku masih rahasiakan persoalan itu,” cetus Emi.
Malamnya, Roy datang menjemput Emi.
“Ya udah lah, pulang lah kau. Nanti kalau bapakmu tau, jadi pikaran,” nasehat sang ibu kepada Emi saat Roy datang.
Tiba di rumah mertua, Emi tidak disambut baik. Malah, katanya, ibu mertuanya menselonjorkan kakinya di depan pintu kamar ia dan Roy.
“Namun aku cuek saja, dan terus lewat masuk kamar,” tukas Emi.
Malam itu, sambung Emi, ia merasa tidak nyaman tinggal di situ. Paginya, sekitar pukul 06.00 WIB, Emi keluar rumah. Ia minta Roy mengantarkannya ke rumah orangtuanya.
Roy bersedia. Bahkan, selama seminggu Roy ikut tinggal di rumah orangtua Emi. Namun kemudian, Roy pulang ke rumah orangtuanya dengan membawa mobil milik Emi. Saat itu, Emi marah. Keduanya pun bertengkar melalui SMS.
Usai bertengkar tanpa solusi, keduanya putus komunikasi. Sebab Roy memblokir nomor handphone Emi. Sekitar dua minggu kemudian, Emi meminta mobilnya dikembalikan dengan alasan akan dipakai bapaknya.
Bukannya mengembalikan mobil tersebut, Roy malah menelepon bapak mertuanya.
“Kalau amang mau pakai mobil Rush (milik Emi, red), akulah pakai (mobil) CRV (punya) amang,” pinta Roy.
Tapi entah mengapa, hal itu tidak jadi. Emi pun mengambil mobil miliknya yang berada di salah satu tempat pencucian mobil (doorsmeer) di Pematangsiantar.
‘Pisah ranjang’ berlanjut. Roy tetap tinggal di rumah orangtuanya, demikian juga Emi tetap berada di rumah orangtuanya.
Hingga sekitar pertengahan Mei, Roy menghubungi bapauda Emi dan menceritakan kondisi rumah tangganya. Oleh bapauda, Roy dan Emi dipertemukan di rumah orangtua Emi. Saat itu, ada dua kerabat Roy, termasuk nantulangnya, yang ikut serta dalam pertemuan.
Dalam pertemuan tersebut, Emi menceritakan semua yang dialaminya selama menikah dengan Roy. Emi mengaku sering dimaki oleh Roy, baik langsung maupun lewat telepon.
Mendengar penuturan Emi, ibu Emi marah kepada Roy. Sebab, jika Roy memaki Emi, sama saja dengan memaki dirinya selaku ibu yang melahirkan Emi.
“Makanya Roy, jangan kebanyakan kau berkawan sama mamak-mamak sosialita, biar jangan dibilang orang itu kau si dua jambar,” nasehat ibu Emi kepada Roy.
Roy tidak senang. Ia langsung mengamuk.
“Memang betul-betul goblok kalian!” kata Roy sambil berlalu dan keluar dari rumah mertuanya.
Sebelumnya, ia sempat mengamuk sambil menunjuk-nunjuk wajah bapak mertuanya. Lalu, ia mengajak nantulangnya pulang.
Dijelaskan Emi, ibunya tahu Roy sering diejek si dua jambar justru dari menantunya itu sendiri. Sebab sebelumnya, Roy pernah cerita kepada Emi dan ibunya bahwa ia sering diejek sebagai si dua jambar di medsos.
Awalnya, kata Emi, ia sempat berpikir ejekan si dua jambar itu karena ia dan Roy sama-sama menikah dua kali. Pasca peristiwa itu, kembali Emi dan Roy putus komunikasi.
Juni, sambung Emi, Emi mengambil seluruh gaji ke-13 ASN milik Roy dari rekening. Kebetulan kartu ATM-nya dipegang Emi.
Ketika Roy tahu, ia mengamuk dan memaki-maki Emi melalui SMS.
“Kembalikan gaji 13 ku itu! Tidak ada hak mu di gaji 13 itu!. Kirim itu sekarang juga. Ini nomor rekeningku,” tulis Roy di SMS.
Emi memilih diam dan tidak membalas SMS tersebut mengingat ia sedang hamil. Tak lama, diketahui oleh Emi, Roy memblokir nomor rekeningnya.
“Nah, terhitung sejak itu, Roy tidak lagi memberikan uang kepada saya sebagai istrinya,” sebut Emi.

Awal Juli, Emi opname di rumah sakit. Ia muntah-muntah dan tekanan darahnya sangat rendah. Bapauda Emi yang pernah mempertemukan mereka, menginformasikan kondisi Emi kepada orangtua Roy.
“Ini tanggung jawab Napitupulu. Kami yang akan tanggung biaya opname,” kata bapaknya Roy melalui telepon kepada ibu kandung Emi.
Saat Emi dirawat di rumah sakit, hanya mertuanya yang membesuk. Sedangkan Roy tidak ada muncul sama sekali. Dan, ternyata, orangtua Roy sama sekali tidak membayar biaya perawatan Emi di rumah sakit selama satu malam. Menurut mertua Emi, mereka batal membayar karena dilarang Roy.
Sudahlah tidak mau membayar, Roy malah mengirimkan SMS kepada ibu mertuanya dengan kata-kata yang tidak pantas.
“Kalau inang berani buat boru mu opname sebagai pasien umum, tanggung sendiri biaya boru mu. Kenapa nggak tanya saya dulu waktu dia mau masuk rumah sakit?” demikian isi SMS Roy.
Dijawab ibu mertua, “Saya tdk pernah minta uang mu. Saya masih mampu biayai anak saya. Orangtuamu yang bilang itu tanggung jawab Napitupulu, bukan saya.”
Beberapa hari kemudian, Emi dibawa keluarganya ke Penang, Malaysia, untuk berobat. Sebab selama hamil ia susah berjalan. Namun kepergiannya tidak diberitahukan kepada Roy dan keluarganya. Saat itu, keluarga Emi hanya mementingkan keselamatan putri mereka satu-satunya . Apalagi dokter sudah menyarankan agar Emi dibawa berobat ke dokter syaraf.
Emi berada di Penang selama lima hari. Dua hari setelah Emi kembali ke Pematangsiantar, Roy mengirimkan SMS kepada Emi dan ibu mertuanya. Dalam SMS-nya, Roy mengatakan ia tengah berada di Penang. Tapi Emi mengaku tidak tahu apa kepentingan Roy di Penang.
Saat itu awalnya, sambung Emi, Roy mengirimkan SMS kepada ibunya Emi. Sebab Emi telah memblokir nomor Roy. Setelah dibujuk ibunya, akhirnya Emi membuka blokir dan membaca SMS Roy.
“Selamat pagi, apa kabar? Aku sekarang di Penang. Sehat2 ya saying…,” demikian isi SMS Roy.
“Diam kau! Ga perlu kau pamer di Penang sama saya,” balas Emi.
Kemudian, setelah Roy kembali ke Indonesia, dia mengirim pesan WA dan menanyakan kabar Emi.
“Apa kabar, Mi? Sehat?” tulis Roy.
“Ada apa menghubungi saya?” balas Emi.
Bukan membalas, Roy malah menelepon Emi.
“Aku bawa oleh-oleh dari Penang. Nanti pakailah itu pas hari ulang tahunku ya,” kata Roy.
“Oh, ya udah. Antar aja,” jawab Emi singkat.
“Besok pagi kuantar ke rumah ya,” kata Roy lagi.
Besok pagi sebelum kerja, Roy singgah di rumah mertuanya dan mengantar oleh-oleh dari Penang untuk Emi berupa baju. Namun ia tidak turun dari mobil, melainkan hanya mengangsurkan bungkusan kepada Emi yang berdiri di depan gerbang rumah.
Siangnya, Roy menelepon dan mengajak Emi bertemu.
“Siap-siap kau ya. Nanti sore kujemput. Pakai baju yang kubeli itu ya,” kata Roy.
“Ok,” jawab Emi.
Sore, Emi dijemput. Tapi lagi-lagi, Roy tidak turun dari mobil. Hanya mengklakson, dan tidak permisi kepada bapak mertua. Kebetulan saat itu ibu mertua berada di Bandung.
Oleh Roy, Emi dibawa ke salah satu kafe di Pematangsiantar. Tidak ada pembicaraan serius selama di kafe.
“Apalah hadiah ulang tahun sama ku?” tanya Roy.
“Kan aku udah hamil. Itulah hadiah ulang tahunmu. Gitu pun, besok kubeli kue ulang tahunmu,” jawab Emi.
Dari kafe, Emi dibawa ke rumah barunya di Simpang Panei, tidak jauh dari rumah orangtua Roy. Baru itulah Emi menginjakkan kakinya di rumah itu.
Di rumah, Roy ganti baju untuk kepentingan melayat. Dari Simpang Panei, Emi diantar pulang. Emi hanya didrop di depan rumah karena Roy tidak mau diajak turun dan masuk ke rumah.
Besok sore, Emi dijemput lagi untuk merayakan ulang tahun Roy. Keduanya makan di salah satu restoran seafood di Jalan Sangnawaluh Damanik Pematangsiantar. Saat itu, mereka hanya berdua.
Tetapi, menurut Emi, keesokan harinya Roy merayakan ulang tahun dengan teman-temannya di restoran yang berada di kawasan Simpang Dua Pematangsiantar. Sebenarnya Emi sudah minta ikut. Tapi Roy tidak mengizinkan. Kata Roy, ia dilarang temannya, Monang, untuk mengajak Emi.
“Kata si Monang, janganlah kau ikut. Nanti jadi nggak enakan, diam-diaman,” kata Monang kepada Roy seperti ditirukan Roy.
Di bulan Agustus, Roy membujuk Emi untuk ikut pulang ke rumah barunya.
“Saya bukan perempuan murahan. Kamu harus permisi kepada orangtua saya,” jawab Emi.
Roy setuju. Ia pun menemui ayah mertuanya. Sementara ibu mertua masih berada di Bandung.
“Amang, aku mau ajak Emi pulang ke rumah” kata Roy.
“Sebelum kamu bawa putri kami, saya tanya kamu masih cinta nggak sama boru saya?” tanya bapak Emi.
“Masih,” jawab Roy.
“Bisa nggak orangtuamu tidak intervensi lagi keluarga kalian, khususnya ito (ibu Roy, red) itu?” tanya bapaknya Emi lagi.
“Bisa, amang,” jawab Roy.
“Kalau nanti misalnya kamu ribut lagi sama Emi, bisa tidak kamu tidak meninggalkan boru saya lagi seperti yang kemarin-kemarin?” Roy ditanya lagi.
“”Bisa, amang. Tidak akan kuulangi,” tukas Roy.
Roy juga permisi membawa Emi kepada ibu mertuanya melalui telepon.
“Baik–baik ya. Emi harus dijaga, dia lagi sakit,” jawab Ibu mertua dari seberang telepon.
Akhirnya Roy membawa Emi pulang. Namun selama tinggal bersama di rumah baru, keduanya jarang berkomunikasi. Sebab jika di rumah, Roy lebih sering bertelepon. Tidak jarang Roy sembunyi-sembunyi saat bertelepon, hingga ke pekarangan rumah. Bahkan ke arah rumah ibunya.
Menurut Emi, Roy sering menjelek-jelekkan istrinya kepada teman-temannya. Hal itu diketahui Emi dari teman-teman Roy yang kemudian menjadi musuhnya.
September, Emi kembali opname di rumah sakit karena masalah lambung. Awalnya, Emi diantar Roy untuk cek kandungan di salah satu tempat praktik dokter di Jalan Kartini Pematangsiantar.
Setelah menjalani pemeriksaan dan diduga ada masalah lambung, dokter merujuk Emi ke dokter spesialis penyakit dalam. Lalu Emi diputuskan harus menjalani opname.
Karena Emi harus masuk rumah sakit, Roy merepet. Ia mengabarkan kepada teman-temannya bahwa istrinya opname.
“Ngapainlah kau opname. Mendinglah uangnya kita pakai jalan-jalan ke Medan,” kata Roy kepada Emi yang masih terbaring di IGD rumah sakit. Menurut Emi, saat itu Roy emosi karena ia lama memeroleh kamar perawatan akibat banyaknya pasien yang opname.
Setelah masuk ruang perawatan, kepada Roy, Emi mengatakan besok ibunya akan dating membesuk.
“Ngapain inang itu datang ke mari? Apa rupanya yang udah dikasih mamakmu sama kau? Apa ada kau dikasih uang?” tanya Roy.
“Eh, bagus-bagus kau bicara!” balas Emi.
Selama Emi dirawat di rumah sakit, kata Emi, Roy menyuapinya makan. Hanya saja, Roy sepertinya tidak tulus melakukan itu.
Bahkan, bukannya menjaga Emi, Roy malah bertandang ke kamar sebelah. Kebetulan salah seorang teman perempuannya juga menjalani opname.
Besok pagi, setelah Emi sarapan, Roy pulang. Emi pun seorang di kamar.
“Roy paling lama satu jam di kamar, dan hanya numpang tidur,” cetus Emi.
Setelah Roy berlalu dari rumah sakit, ibu kandung Emi datang. Memang, ibunya Emi menghindar bertemu Roy. Sementara orangtua Roy yang juga mertua Emi, tidak ada membesuk.
Dari rumah sakit, Emi dibawa kembali ke rumah Roy. Karena tenaganya terbatas dan harus banyak istirahat, Roy lah yang paling banyak mengerjakan pekerjaan rumah. Nyapu, mengepel lantai, mencuci pakaian, dan lainnya.
Namun Roy terus saja marah-marah kepada Emi
“Kau terlalu manja. Banyak orang hamil, tapi nggak kayak kau ini. Samanya semua orang hamil,” kata Roy.
Emi pilih diam dan menganggap suaminya sedang stres.
Di bulan Oktober, tepatnya tanggal 10, Emi dan Roy berbincang-bincang di rumah mereka.
“Tolonglah, kalau nanti aku melahirkan, jangan datanglah orangtuamu,” kata Emi.
“Aku nggak suka lihat mamakmu yang sudah memaki dan mengusir aku dari rumahnya waktu saya hamil dua bulan,” lanjut Emi.
“Kok enak kali kau larang-larang mamakku datang nengok cucunya?” tanya Roy emosi.
“Oh jelas lah, kemarin pas aku opname kau larang mamakku dating,” jawab Emi.
“Kau kok bela kali sama mamakmu? Apa rupanya yang sudah dikasih mamakmu samamu? Dibantu rupanya kau?” kata Roy sambil mengenakan baju untuk berangkat kerja.
“Aku nggak bisa minta bantuan sama mamakku. Karena dua anakku, mamaku yang mengurus,” jawab Emi.
“Itu kan Hutabarat,” kata Roy.
“Eh, jangan kau campuri urusan anakku,” sebut Emi.
“Kau pun kasar kalinya sama boruku,” tambah Emi, yang menambahkan putri Emi (4 tahun) pernah ditolak saat memegang handphone Roy.
“Ada tiga pilihan. Mamakku boleh ga datang, tapi balikkan uangku Rp22 juta, atau kau yang keluar dr rumah ini,” kata Roy.
“Nggak ada apapunyang bisa kuambil dari kau!” ejek Roy.
“Pulangkan saja aku ke rumah orangtuaku secara adat!” tantang emi.
Roy diam dan langsung pergi kerja.
Siangnya, Emi mengirim SMS ke Roy.
“Tolong cepat kau pulang, biar kau antar saya ke rumah orangtuaku. Or, biar kusuruh orangtuaku ke rumahmu ini. Aku nggak takut pisah samamu. Serahkan tanggung jawabmu untuk kandunganku. Bukan urusan orangtuaku biayai ini. Cam kan itu,” tulis Emi.
Roy membalas SMS tersebut dan menegaskan ia tidak pernah mengincar incar harta Emi dan keluarganya. Karena dia masih bisa mencari harta sendiri. Roy pun mengaku shock mendengar selentingan dia mengincar harta keluarga Emi. Sebab orangtuanya juga memiliki harta.
Sore, ketika Roy pulang kerja, Emi kembali meminta Roy mengantarnya pulang ke rumah orangtuanya.
“Antarlah aku pulang. Karena kamu sering usir saya. Dan setiap berantam kamu selalu usir saya. Saya sadar ini bukan rumah saya. Saya nggak pernah bilang ini rumah saya,” kata Emi.
“Ya udah, pulang aja kau! Ngapain pakai adat-adat? Kalau mau pulang, angkat kakimu dari rumah ini,” jawab Roy.
Keduanya pun diam-diaman hingga keesokan harinya.
Tanggal 12 Oktober, di rumah hanya tersedia telur. Jadi, Emi yang tidak boleh banyak beraktivitas karena kehamilannya, hanya makan pakai telur. Malamnya, keduanya ribut besar. Bahkan Emi diusir.
“Kau kira udah hebat kali dokter kau itu!” maki Roy.
“Lebih banyak uangku dari kau,” tambah Roy.
“Jangan pernah hina dokter saya,” jawab Emi.
Lalu Emi mengingatkan Roy supaya jangan sombong dan menghina. Saat pertengkaran itu, Emi berada di kamar, sedangkan Roy di ruang tamu.
“Aku besok mau ke Medan. Kutinggalkan kau, biar mampus kau!” kata Roy kepada Emi sambil tertawa.
“Silakan, saya tidak takut. Lakukan apa yang kau suka,” balas Emi.
Emi memilih tetap bertaham di kamar. Tak lama ia tertidur. Saat ia tidur, Roy masuk ke kamar dan memeluknya.
Besok pagi, 13 Oktober, Roy bersikap manis dan menyediakan sarapan untuk Emi. Emi tahu, Roy bersikap baik karena mau ke Medan bertemu teman-temannya.
“Ngapain ke Medan? Ngabisin duit. Utamakan dulu beli popok dan perlengkapan bayi,” kata Emi.
Bukan tanpa alasan Emi mengatakan hal itu. Sebab sebelumnya, ibu Emi menyarankan agar untuk keperluan bayi mereka, tidak perlu beli terlalu banyak. Sebab masih ada barang-barang anak Emi sebelumnya, dan kondisinya masih bagus.
Namun Roy menolak. Alasannya, karena ini anak pertamanya, ia tidak ingin memakai barang bekas. Semua harus baru. Memang, lanjut Emi, sudah ada beberapa keperluan bayi yang dibeli Roy, namun masih banyak yang kurang.
“Sabarlah kau! Itu kan bisa nanti akhir bulan. Maksud kau mau kau masukkan aku ke terali besi? Sekarang aku nggak ada duit. Akhir bulan kan bisa itu dibeli semua,” Roy mengamuk.
“Lho, ke Medan ada uangmu,” tukas Emi.
“Udah, brojolkan aja anakmu. Balikkan uang Rp22 juta itu,” kata Roy.
“Oh maaf, itu kan sumbanganmu,” jawab Emi.
“Kalau betul itu sumbanganku, mati anakmu yang dalam kandungan itu. Kalau nggak mati, berarti kalian berutang,” cetus Roy.
Kat Emi, itu kali kedua Roy menyumpahi anaknya meninggal dalam kandungan.
“Ya udah, pulangkan aja aku ke rumah orangtuaku. Pakai adat sama orangtuamu. Sehat-sehat aja lah kau,” kata Emi.
“Tunggu ya, biar kupanggil bapakku, biar diantar kau pulang ke rumah bapakmu,” kata Roy, sambil berlalu ke rumah orangtuanya.
Tak lama, Roy kembali ke rumah. Ia mengambil handphone dan kunci mobil. Lalu menuju ke rumah orangtuanya lagi.
Roy balik lagi ke rumah. Di rumah, ia mandi dan berpakaian. Selanjutnya bawa mobil keluar rumah.
“Waktu itu sekitar jam sepiluh pagi,” sebut Emi.
Emi mencoba menelepon Roy, namun nomor handphone Emi sudah diblokir. Emi pun berinisiatif menelepon teman-teman Roy dan meminta mereka menyuruh Roy pulang.
“Pas ditelepon, kawannya bilang iya, iya. Tapi Roy tetap saja nggak pulang,” ungkap Emi.
Merasa kesal, Emi menelepon ibunya. Kepada ibunya, Emi mengaku ditinggal Roy seorang diri di rumah.
Hingga malam, Roy tak kunjung pulang. Emi jengkel. Apalagi kemudian ada seseorang mengetuk pintu rumahnya. Karena tidak kenal, Emi tidak mau membukakan pintu. Rupanya yang mengetuk pintu itu seorang pria bermarga Sinaga, suruhan orangtua Roy.
Karena Emi menolak membuka pintu rumah, akhirnya Sinaga itu menelepon bapak Emi. Malam itu juga, bapak Emi datang dari Pematangsiantar. Begitu tiba, bapak Emi langsung marah mengetahui anaknya yang dalam kondisi hamil ditinggalkan seorang diri di rumah oleh suaminya.
“Aku pun bisa ribut di sini! Jangan seenaknya saja meninggalkan boru saya! Banyak mahasiswa saya di kampung ini,” kata bapak Emi kepada marga Sinaga di halaman rumah. Kebetulan bapak Emi merupakan dosen USI.
“Kek gini laki-laki meninggalkan boru saya? Padahal sudah janji tidak meninggalkan boru saya. Apalagi ini lagi hamil tua. Sanggup dia ke Medan. Ini laki-laki bertanggung jawab tidak?” kata bapak Emi.
Marga Sinaga itu meminta Emi pulang ke rumah orangtuanya. Tapi Emi menolak.
“Panggil dulu orangtua si Roy itu ke sini!” kata Emi karena SInaga terus meminta Emi pulang ke rumah orangtuanya.
Kemudian, kedua orangtua Roy datang. Di hadapan mertuanya, Emi menegaskan ia tidak mau pulang ke rumah orangtuanya sebelum Roy datang.
“Saya ini boru ni raja, bukan sembarangan. Atau, sekalian jumpa di pengadilan?” tantang Emi.
Orangtua Roy angkat bicara. Namun menurut Emi, kata-kata mereka seperti menyudutkan dirinya.
“Seolah-olah selama ini saya mengekang Roy,” tukas Emi.
“Apa maksud si Napitupulu (Roy, red) sering mengusir boru saya? Kemarin ito ini (mertua Emi, red) usir boru saya dari rumahnya. Sekarang Roy yang mengusir boru saya. Padahal dia yang bermohon kepada saya supaya boru saya ikut sama dia. Berapa rupanya harga rumah ini? Biar kubeli sekarang. Biar jangan suka-suka kalian mengusir boru saya,” kata bapak Emi.
“Jangan gitu lae ngomong. Nggak kami jual rumah kami ini,” kata bapaknya Roy.
“Karena sombong kali kalian usir boruku dari rumah ini,” balas bapak Emi.
“Anak saya dikasih makan telur, apaan itu? Dia foya-foya di Medan, anak saya telantar di sini. Mana tanggung jawabnya sebagai suami?” tanya bapak Emi lagi.
“Jadi siapa menjaga anak saya di sini? Ada apa-apa dengan anak saya, kalian saya tuntut!” ancam bapak Emi, karena Emi bersikeras tidak mau pergi dari rumah itu.
Bapak Emi akhirnya pulang ke Pematangsiantar. Sedangkan Emi ditemani istri marga Sinaga, Boru Nainggolan setelah ia menawarkan diri. Terhitung, dua malam Emi ditemani Boru Nainggolan.
Keesokan malamnya, yakni Sabtu malam, Sinaga dan istrinya datang. Mereka mengajak Emi bicara.
“Besok (Minggu, red) Roy kan pulang. Jadi jam enam (sore) kita ngumpul. Biarlah aku (perwakilan) dari (marga) Sinaga. Besok yang hadir itu, aku dr Sinaga, kau (Emi, red) boruku, Roy, raja parhata, dan ada dari Napitupulu,” kata Sinaga.
“Saya tidak mau. Karena orangtua Roy pasti ada, kalau mau kumpul, orangtua saya juga harus hadir,” kata Emi.
“Nggak apa-apa, boru. Aku lah dulu mewakili,” bujuk Sinaga.
“Oh maaf, saya baru kenal bapauda. Orangtua saya masih ada. Wajar dong saya hadirkan, apalagi orangtua Roy ada di sini. Jangan suka-suka!” tolak Emi.
“Ya, sudahlah,” Sinaga mengalah.
“Saya bicarakan dulu sama orangtuaku,” tukas Emi.
“Kalau mamak, udah acc (setuju, red) kalau aku mewakili,” tukas Sinaga.
“Bukan mamakku penentu hidupku, aku yang menentukan. Aku kan Boru Sinaga, jadi aku diskusi dulu sama bapakku,” tukas Emi.
Sinaga terdiam dan pulang. Sedangkan istrinya tinggal, menemani Emi.
Lantas, Emi segera menelepon ibunya. Di telepon, Emi marah karena ibunya begitu saja menyetujui saran Sinaga tanpa terlebih dahulu bertanya kepadanya.
“Ya udahlah kalau kamu nggak mau. Ngomonglah sama bapak,” kata ibunya Emi.
Lalu Emi bicara via telepon dengan bapaknya. Ia membeberkan semuanya. Selesai keduanya bertelepon, bapak Emi menelepon Sinaga.
“Jangan ada perkumpulan kalau saya tidak di situ. Itu boru saya. Saya sebenarnya tidak kenal sama Anda. Anda yang telepon saya (kemarin). Tdk boleh!” kata bapak Emi.
Keesokan harinya, Minggu, Roy tiba sekitar pukul 18.00 WIB. Namun ia malah menuju rumah orangtuanya. Di sana, mereka berkumpul.
Kemudian, Sinaga menelepon ibunya Emi, mengatakan akan ada pertemuan. Sinaga meminta orangtua Emi datang.
Sekitar pukul 19.30 WIB, Sinaga mengirimkan SMS ke handphone ibunya Emi, mengingatkan mereka agar datang. Lantas dibalas melalui SMS juga, dengan mengatakan mereka sudah di jalan menuju rumah Roy.
Emi pun ditelepon menayakan apakah keluarganya jadi datang. Emi meminta mereka bersabar dan mengatakan orangtuanya akan datang.
Orangtua Emi datang bertiga, yakni bapak, ibu, dan seorang perwakilan marga Sinaga dari Pematangsiantar. Pertemuan digelar di rumah Roy. Dari pihak Emi, hanya ada dirinya, kedua orangtuanya, dan seorang perwakilan marga Sinaga. Sedangkan dari pihak Roy cukup banyak yang hadir, ada 20-an orang.
Diceritakan alumni Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Medan ini, ia dan keluarganya berang atas ucapan Roy kepada ibunya. Kata Emi, Minggu (15/10) malam ada pertemuan keluarga di rumah yang ia tempati bersama Roy, di SImpang Panei, Kabupaten Simalungun.
Dari pihak Emi, hadir kedua orangtuanya dan seorang perwakilan Sinaga dari Pematangsiantar, yang dibawa orangtua Emi. Sedangkan dari pihak Roy, cukup banyak yang hadir.
“Ada lah sekitar 20 orang,” kata perempuan berkulit putih itu.
Pertemuan itu, lanjutnya, untuk membicarakan pertengkaran yang kerap terjadi antara Emi dan Roy.
Pertemuan yang dihadiri Ketua STM setempat itu, dibuka dengan doa oleh nantulang Roy.
“ Sebelumnya ceritakanlah dulu apa yang terjadi dan tak enak hati,” kata Ketua STM kepada Emi, mengawali perbincangan.
“Kau adikku, karena istriku Boru Sinaga,” kata Ketua STM, bermarga Tarigan.
Emi pun menceritakan apa yang mengganjal di hatinya selama ini. Lalu, giliran Roy. Saat itu, Roy mengungkit kata-kata Emi yang melarang keluarganya datang jika Emi melahirkan anak mereka.
Begitu mendengar ucapan Roy, Emi mengatakan, “Kau Roy, karena apa kularang? Karena pernah kau larang mamakku datang pas aku diopname.”
Lantas ibunda Emi, menambahkan, “Kan kau larangnya aku datang waktu itu kalau tak ada bawa uang.”
Namun Roy membantah.
“Mana ada kularang! Trus, kenapa pernah inang bilang aku si dua jambar?” tukas Roy.
Lalu, Roy langsung berdiri dan marah-marah kepada mertuanya.
“Enak kali kau bilang aku si dua jambar. Buktinya borumu bunting kubuat,” cetus Roy.
Tak hanya itu, ucapan Roy makin melecehkan mertuanya.
“Buka celana dalammu. Biar ku ****** kau di sini,” katanya kepada ibu mertuanya.
Kemudian, Roy berkata kepada bapak mertuanya.
“Suruh istrimu ini membuka celana dalamnya, biar ku****** di depanmu,” kata Roy.
Mendengar kedua orangtuanya dilecehkan, Emi ikut berdiri.
“Apa kau bilang, Roy?” Emi berteriak.
Khawatir kondisi makin panas dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, beberapa orang langsung menarik Roy keluar rumah.
Beberapa orang lainnya ikut menyusul Roy keluar rumah. Tak lama, Ketua STM bermarga Tarigan masuk kembali ke rumah. Disusul tulang Roy, dan marga Napitupulu.
Di dalam rumah, mereka bertanya kepada Emi tentang kondisi rumah tangga dirinya dan Roy selama ini.
Tak lama, Roy masuk kembali ke rumah. Dia langsung menuju kamar tidur, membuka lemari, dan mengambil baju-bajunya.
“Waktu Roy masuk, dia dikawal dua orang pria, seperti bodyguard-nya,” tambah Emi.

Keluar dari kamar, Roy langsung menuju pintu depan dan keluar. Namun dari luar pintu, dia berteriak ke arah Emi dan keluarganya.
“Hei, kembalikan uangku yang Rp22 juta itu!” teriak Roy.
Emi emosi. Segera, ia menuju pintu samping dan mendekati Roy yang berada di luar rumah.
“Mari kau, Roy! Kau terus maki-maki mamakku,” kata Emi.
Di halaman rumah, ada adik kandung Roy, Charles. Charles yang sepengetahuan Emi selama ini tinggal di Medan, menghampirinya. Lalu, Charles meremas kedua lengan Emi sambil mendorong-dorong tubuh kakak iparnya itu.
“Keluar kau dari rumah itu!” usir Charles kepada Emi.
“Suamiku aja gak berani nyentuh badanku, kok berani kau! Siapa kali kau? Awas kau ya, Charles!” tantang Emi
Mendengar ribut-ribut di luar, ibunya Emi menyusul.
“Hei, tanganmu! Yang mau kau bunuhnya anakku?” teriaknya kepada Emi yang tengah mengniaya putrinya itu.
Charles melepaskan Emi dan berlalu.
“Kau tunggu ya, Charles! Berani kau sentuh badanku. Bunuhlah aku! Sini, bunuh,” tantang Emi lagi.
Saat itu, sambung Emi, Roy sudah tidak kelihatan dan ia tidak mengetahui keberadaannya.
Lalu, Emi dibawa masuk ke rumah. Di dalam rumahnya, Emi meminta ibunya memfoto bagian tubuhnya yang memar-memar akibat perbuatan Charles menggunakan kamera handphone.
Tak lama, bapaknya Roy masuk lagi ke rumah. Ia mengatakan sebaiknya Emi pulang ke rumah orangtuanya. Sebab tidak ada yang menemaninya jika ia bertahan di rumah tersebut. Namun Emi menolak.
Karena Emi bertahan tinggal di rumah itu, keluarga Roy mengatakan anaknya hanya sanggup menafkahi Emi sebesar Rp1 juta per bulan. Jika Emi berinisiatif memekerjakan asisten rumah tangga mengingat kondisinya yang lemah karena hamil, itu bukan urusan Roy. Sebab Roy masih harus membayar utang-utangnya.
“Kalau nggak sanggup dia bayar pembantu, suruh dia pulang dan bertanggung jawab karena saya masih istrinya,” tukas Emi.
“Kalau gitu, aku dan mertuamu lah yang ngawani, parumaen,” kata mertua Emi.
“Maaf ya, saya berurusan dengan Roy Sartana Napitupulu, bukan dengan kalian! Tunjukkan dia laki-laki bertanggung jawab!” tegas Emi.
“Saya nggak akan keluar dari sini sebelum keputusan cerai! Silahkan suruh Roy gugat cerai saya ke pengadilan!” katanya lagi.
Pertemuan berakhir tanpa solusi. Emi tetap tinggal di rumah itu. Sedangkan orangtuanya kembali ke Pematangsiantar, dan semua tamu meninggalkan tempat tersebut.
Sepanjang malam, Emi merenungkan semua yang telah terjadi. Keesokan harinya, ia memutuskan keluar dari rumah itu.
Ditemani orangtuanya, Emi menuju Polsek Panei Tonga. Mereka menemui Kapolsek untuk memberitahu ia keluar dari rumah suaminya.
“Agar jangan ada tuduhan bahwa orangtua saya melarikan istri orang,” sebut Emi, yang tengah menunggu saat melahirkan sesuai prediksi dokter sekitar sebulan lagi.
Sementara itu terkait kasus penganiayaan yang dialaimi Emi sudah dilaporkan pada 17 Oktober di Polsek Panei Tonga.(Vay)
Discussion about this post