Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) diduga menjalin kerjasama dengan sejumlah akun media sosial untuk mempromosikan kegiatan-kegiatan Gubernur Sumut Bobby Nasution.
Dari informasi yang dihimpun, para pemilik akun medsos ini mendapat bayaran variatif, berkisar antara Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan.
Namun, hingga kini belum jelas model kerjasama yang dijalankan. Bahkan, regulasi mengenai hubungan kemitraan pemerintah dengan akun media sosial pribadi pun masih abu-abu.
Selama ini, dasar hukum kerjasama publikasi pemerintah daerah hanya merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/2017 tentang Standar Perusahaan Pers.
Dalam aturan tersebut, jelas disebutkan bahwa pihak yang bisa menjalin kerjasama publikasi dengan pemerintah adalah perusahaan pers berbadan hukum Indonesia, memiliki legalitas usaha, serta tercatat di Dewan Pers. Akun media sosial pribadi sama sekali tidak termasuk dalam kategori itu.
“Kalau kerjasama dijalankan dengan akun medsos personal, maka tidak ada dasar hukumnya. Nomenklatur belanja publikasi pemerintah hanya berlaku bagi perusahaan pers resmi. Jadi, kalau tetap dipaksakan, ini masuk kategori penyalahgunaan wewenang dan berpotensi pidana,” kata seorang wartawan di Sumut yang enggan disebutkan namanya, Selasa (30/9).
Ia menegaskan, pembayaran uang negara kepada akun medsos pribadi rawan menimbulkan konsekuensi hukum.
“Kalau dikeluarkan lewat pos belanja publikasi pemerintah, maka harus jelas media mana saja yang tercatat resmi di Dewan Pers. Jika ternyata dibayarkan ke akun pribadi tanpa badan hukum, jelas ada masalah. Ini bisa diseret dengan Pasal 3 dan Pasal 2 UU Tipikor,” ujarnya.
Berdasarkan perhitungan sederhana, jika kerjasama melibatkan 50 akun medsos dengan bayaran rata-rata Rp2,5 juta per bulan, maka dalam setahun total anggaran yang dikeluarkan bisa mencapai Rp1,5 miliar. Jumlah ini tentu bisa lebih besar jika akun yang dilibatkan lebih banyak.
Dia mengatakan praktik ini bentuk pembajakan APBD untuk pencitraan kepala daerah. Media sosial bukan lembaga pers, tidak punya badan hukum, tidak masuk standar Dewan Pers.
“Kalau dibayar pakai APBD, jelas ini penyalahgunaan uang rakyat. Kami minta BPK melakukan audit khusus dan aparat penegak hukum, baik Kejatisu maupun KPK, untuk menyelidiki aliran dana ini,” tegasnya.
Menurutnya, masalah ini bukan soal kecil atau besarnya anggaran, tetapi soal prinsip tata kelola keuangan negara.
“Setiap rupiah uang rakyat harus dibelanjakan berdasarkan dasar hukum yang jelas. Kalau praktik seperti ini dibiarkan, maka kredibilitas pengelolaan APBD Sumut bisa hancur,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemprov Sumut belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan kerjasama publikasi dengan akun medsos ini.
Publik menanti transparansi penuh baik soal nomenklatur anggaran, mekanisme pembayaran, hingga siapa pejabat yang menandatangani kontrak