MEDAN: Meninggalnya pengusaha perkebunan asal Sumatera Utara (Sumut) DL Sitorus membuka fakta bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH) tidak berhasil menciptakan iklim kompetisi yang adil dan transparan bagi pengusaha di bidang perkebunan. Seperti yang disampaikan anggota DPRD Sumut Aripay Tambunan.
Menurut politisi dari Fraksi Amanat Nasional (FPAN) ini, kasus DL Sitorus menunjukkan Kementerian LHK hanya fokus menindak satu perusahaan di antara sekian perusahaan yang bermasalah di lahan register 40.
“Jika pemerintah ingin tegas, seharusnya semua perusahaan atau pengusaha yang melakukan usaha di lahan register 40 ditindak tegas jika melanggar aturan. Kenapa hanya perusahaan DL Sitorus yang ditindak dan diekpos habis-habisan?” katanya.
Menurut Aripay, sebagai regulator Kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya harusnya berada di posisi netral, tidak berpihak pada kepentingan tertentu. Perlakuan terhadap DL Sitorus yang sedemikian tegas, namun tidak pada pengusaha lain, dapat dipersepsikan sebagai tindakan yang tidak fair oleh pelaku bisnis. Pada akhirnya, pelaku bisnis menilai pemerintah hanya mengakomodasi kepentingan tertentu.
Ia menekankan, Menteri Siti Nurbaya harus bisa menjelaskan secara gamblang kepada publik siapa saja pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan mengelola lahan di Register 40.
“Agar fair, semuanya diperlakukan sama dan publik bisa menilai bahwa banyak yang melakukan kesalahan.”
Setelah bertindak tegas tanpa pandang bulu, lanjutnya, di masa mendatang Kementerian LHK sebaiknya membuat aturan yang sekiranya menjadi solusi bersama untuk masalah ini. Jangan asal main ambil aset milik swasta.


Ia mencatat ada 29 perusahaan yang menguasai lahan kawasan Register 40 Palas (Padang Lawas) dan Paluta (Padang Lawas Utara), yaitu PT FMP seluas 14.853 hektar, PT Wonorejo seluas 7.892 ha, PTPN IV 10.000 ha, PT SSPI seluas 5.500 ha, Koperasi Bukit Harapan (dieksekusi) 23.450 ha, KTPS 14.000 ha, PT AML 21.000 ha, Koperasi Langkimat 14.000 ha, PT SSL 33.390 ha, PT EPS 9.833 ha, PT KM 2.000 ha, PTPN II 10.000 ha, PT Rapala 10.300 ha, dan PT Inhutani IV 19.500 ha.
Lalu ada juga Koperasi Parsub 17.000 ha, Kelompok Masyarakat 10.000 ha, KUD Sinar Baru 3.000 ha, KUD Serba Guna 3.000 ha (sudah memiliki sertifikat), Koperasi KPN 1.500 ha, PT Rispa 5.000 ha, Transmigrasi 7.135 ha, PT SKL 82.502 ha, PT CP 2.000 ha, PT MAI 10.781 Ha, PT KAS 4.870 Ha, PT HBP 4.000 ha, PT AMKS 4.500 ha, PT AMKS 4.500 ha, dan PT Jerman 300 ha.
Namun belakangan ini yang mencuat hanya kasus lahan 47 ribu ha, yakni lahan milik perusahaan DL Sitorus. Ini kemudian memunculkan reaksi banyak pihak, dan mempertanyakan alasan dari Kementerian LHK yang hanya mempersoalkan lahan DL Sitorus, yang meninggal dunia pada 3 Agustus 2017 di dalam Pesawat Garuda.
Ia juga mengingatkan agar Kementerian LHK juga membuka komunikasi dengan masyarakat yang telah hidup puluhan tahun di lokasi tersebut. “Ada puluhan ribu manusia yang seharusnya diajak bicara. Sejauh ini saya lihat belum ada upaya pemerintah pusat mengajak mereka bicara.”
Aripay berharap Kementerian LHK sebaiknya mempertimbangkan aspek psikologis dan sosiologis masyarakat setempat. Sehingga menolak saat akan dilakukan sita aset lahan oleh Kementerian LHK karena ketiadaan komunikasi.
“Harus ada solusi yang tidak hanya mengutamakan pendekatan formal, tetapi bisa juga pendekatan sosiologis. Ini untuk meminimalisasi terjadinya konflik vertikal sehingga membuat kondisi di daerah tersebut menjad tidak kondusif.”(REL)
Discussion about this post