
Tim Satgas Pangan Sumatera Utara mengungkap keberadaan 1,1 juta kilogram minyak goreng yang diduga ditimbun di sebuah gudang salah satu produsen di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (18/2/2022).
Temuan ini bermula dari sidak yang dilakukan oleh Satgas Pangan karena sejak sepekan terakhir terjadi kelangkaan minyak goreng di pasaran, terutama di wilayah Sumatera Utara.
Saat sidak, 1,1 juta kilogram minyak yang ditemukan di Deli Serdang ternyata minyak yang siap edar.
Padahal saat ini kondisi masyarakat tengah kesulitan mendapatkan minyak goreng karena langka di pasaran. Belakangan diketahui, pemilik dari timbunan minyak goreng di gudang tersebut adalah anak perusahaan dari Grup Salim milik konglomerat Anthony Salim, yakni PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan. Ia menyatakan pelaku penimbunan minyak goreng akan dijerat Pasal 107 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dengan hukuman penjara 5 tahun atau denda Rp 50 miliar.
Maraknya Penimbunan, Bagaimana Tanggapan Islam.
Penimbunan (al-ihtikâr), seperti yang kami jelaskan di dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî, adalah haram: Penimbunan (al-ihtikâr) secara mutlak adalah haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis secara gamblang.
Telah diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Said bin al-Musayyib dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda,“Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.”
Al-Qasim telah meriwayatkan dari Abu Umamah yang berkata,“Rasulullah saw. telah melarang makanan ditimbun.” (HR al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah)
Imam Muslim juga meriwayatkan dengan sanad dari Said bin al-Musayyib bahwa Mu’ammar berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda,“Siapa saja yang menimbun, dia berbuat kesalahan.”
Al-Muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal, lalu dia jual dengan harga tinggi. Hal itu membuat susah warga negeri untuk membelinya.
Pelakunya Dikenai Sanksi
Adapun bagaimana solusi mengatasi masalah penimbunan, maka penimbun dijatuhi sanksi takzir. Dia dipaksa untuk menawarkan dan menjual barangnya kepada para konsumen dengan harga pasar
Adapun penimbun itu harus menjual barangnya dengan harga pasar karena itu adalah hukum syariat dalam jual beli. Jika barang tersebut tidak ada kecuali pada orang yang menimbun ini, yang menjualnya dengan harga yang ia inginkan sehingga ia mengendalikan harganya karena barang itu hanya ada padanya, maka dalam kondisi ini, negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu tidak seorang pun pedagang bisa mengendalikan harga barangnya.
Pasalnya, barang itu tersedia di pasar dan dijual dengan harga pasar. Karena itu dia terpaksa menjual barang tersebut juga dengan harga pasar itu. Jadi solusi terkait masalah orang yang menimbun adalah menjatuhkan atas dirinya sanksi takzir dan memaksa dia untuk menawarkan barangnya di pasar dengan harga pasar.
Jika barang itu hanya ada pada dia saja, maka negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu pedagang itu tidak mengendalikan harga.
Kelangkaannya Menjadi Tanggungan Negara
Masalah ini telah dijelaskan di dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî pada bab “At-Tas’îr (Pematokan Harga)”: Adapun jika terjadi kenaikan harga-harga pada masa peperangan atau krisis politik, maka hal itu bisa akibat dari tidak tersedianya barang di pasar disebabkan penimbunan nya, atau disebabkan kelangkaannya. Jika tidak adanya itu akibat penimbunan, maka Allah telah mengharamkan penimbunan.
Jika tidak adanya di pasar adalah akibat dari kelangkaannya, maka Khalifah diperintahkan untuk memelihara berbagai kemaslahatan masyarakat. Khalifah wajib menyediakan barang itu di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempatnya. Dengan ini, maka kenaikan harga bisa dicegah.
Khalifah Umar bin Khattab pada masa paceklik yang disebut tahun kekeringan—meski terjadi kelaparan di Hijaz akibat kelangkaan makanan pada tahun itu, sementara harga telah melonjak akibat kelangkaannya tidak mematok harga tertentu untuk makanan. Namun Umar mengirim surat dan mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga harga turun tanpa perlu melakukan pematokan harga.
Kemudian jika tidak dijualnya barang dengan harga pasar menimbulkan harga pasar yang berlebihan di luar kewajaran menurut para pedagang dalam bentuk kenaikan sedikit atau penurunan sedikit dari harga pasar.
Negara wajib mengadakan harga pasar sehingga pedagang tidak mengendalikan harga tertentu. Akan tetapi, jika tidak ada pada pedagang lain dengan stok yang bisa mengadakan harga pasar, maka negara harus menghadirkan barang dan menjualnya di pasar, dan berikutnya tidak ada pedagang mana pun yang mengendalikan harga.
Kita Butuh Solusi !
Seharusnya negara menetapkan kebijakan untuk rakyat dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yaitu untuk mewujudkan pengurusan yang benar dan tepat terhadap segala urusan rakyat.Ada beberapa langkah tepat menghadapi kondisi seperti ini, dan kerennya solusi ini hanya ada pada kehidupan Islam kaffah.
Pertama, mengatur kembali masalah kepemilikan harta yang sesuai Islam. Individu dan swasta tidak diperbolehkan menguasai harta milik umum.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Kedua, negara harus menjamin ketersediaan pasokan barang di dalam negeri, terutama mengupayakan dari produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan para pengusaha lokal.
Ketiga, negara melakukan pengawasan terhadap rantai niaga sehingga tercipta harga kebutuhan atau barang-barang secara wajar dengan pengawasan.
Dan untuk merasakan sejahtera nya kehidupan bernegara hanya dengan kembalinya fungsi politik negara yang benar sebagai penanggung jawab dan pelindung bagi rakyat, serta penerapan syariat Islam kafah.

Discussion about this post