Malam itu, suasana ruangan ICU mencekam.
Lebih mencekam dari Ruangan Melati 314.
Emak yang biasa kuanggap kuat ternyata tidak sekuat pandanganku saat melihatnya di ruangan ICU, ia dipasang beberapa alat bantu pernapasan.
Seketika hatiku hancur.
Beberapa perawat memanggilku untuk menandatangi berkas-berkas emak di ruangan ICU, kembali lagi kuucapkan pada perawat.
“Lakukan yang terbaik untuk mamak sus”
(Pintaku pada perawat)
Aku melihat Emak meringis sesak, sesekali kudengar suaranya lirih mengucapkan kalimat tasbih.
Malam itu, malam pertama emak masuk ruangan ICU, tepatnya dihari Minggu.
Masih ingat sekali rasanya, aku memakai gamis pink serta jilbab maroon, sejarah ini akan kucatat sebagai bentuk bahwa aku pernah sehancur ini melihat kondisi emak.
Aku tertidur di kursi tunggu depan ICU, sudah tidak peduli lagi rasanya bentuk ketiduranku di depan ruangan ICU itu.
Hingga datanglah seorang teman, kebetulan dia Humas di rumah sakit di mana tempat Emak dirawat, namanya pak Trisno Dalimunte, sejak emak masuk ke rumah sakit ini, ia banyak turut membantu, aku selalu memberikan kabar terkait emak kepada beliau.
Beliau orang yang begitu baik, waktu Emak pertama kali masuk ICU dia datang menjenguk dan memberikan beberapa semangat kepadaku.
“Banyak berdoa untuk mamak yah dek”
(Ucapnya beberapa kali)
Aku hanya mengangguk, dan hanya melemparkan senyum andalan (senyum manis berlesung pipi di bagian sebelah kanan)
Biasanya, Aku membiasakan diriku harus sudah tidur dibawah jam sepuluh malam tapi tidak untuk malam itu, mataku sulit sekali terpejam, hanya air mata dan rangkaian doa.
Tentang Emak, harapanku.
Tempat berbagi ceritaku,
Tempat keluh kesahku.
Teman berantamku, segala-galanya bagiku.
Akhirnya aku tertidur pukul 02.00 dini hari, setelah mendengar beberapa kajian dari Ustad Hanan Atakki, otakku sedikit bisa diajak kompromi, aku memutar beberapa ayat yang sangat ku sukai, Al Isra’ ayat 23-24, akan kuceritakan nanti mengapa aku sangat menyukai ayat ini, sebab karena Ayat inilah aku kuat hingga kini.
Pagi itu, dihari Senin hampir saja subuhku ketinggalan, karena mungkin malamnya aku tidur hingga larut malam.
Aku bergegas mandi dan langsung melaksanakan sholat subuh, selepas subuh tak lupa memanjatkan doa kembali untuk emak.
Emak, dahulu aku sering memanggilnya Nek lampir, karena sifatnya yang cerewet apa-apa harus ikut maunya emak.
Itu dulu panggilanku waktu SMA, sekarang aku jauh lebih romantis kepada Emak, sejak saat tamat SMA, saat mulai bertumbuh dewasa pikiran lebih terbuka, Emak cerewet karena Emak sayang, terlebih saat aku jatuh cinta untuk pertama kalinya Emak adalah orang yang paling heboh, tak ada yang boleh tau, harus dia yang mengetahuinya terlebih dahulu.
Bukan dulu tak romantis, mungkin akulah paling romantis pada emak.
Kami sering mencabut uban dibawah pohon pokat, sering keluar berdua walaupun hanya sekedar makan ice cream.
Sering cerita hal-hal konyol, bahkan kami kerap disebut kakak beradik, karena badan emak yang lebih kecil dariku.
Dikursi ruangan tunggu aku kembali duduk, waktu itu sekitar jam 10 pagi dan aku kembali dipanggil suster dari ruangan ICU.
Dokter memanggil, yaaa pikirku memberikan pemaparan tentang kondisi emak, jelas saja iya.
Dokter memberitahu bahwa emak sudah melakukan Pencucian Darah (Haemodialisa) Alhamdulillah, mudah-mudahan emak bisa sembuh.
Aku senang, sebelumnya kami sudah sepakat bersama keluarga untuk Haemodialisa terhadap Emak, kami percaya kepada petugas Medis yang baik hati.
Aku keluar ruangan ICU, kulihat sudah banyak saja manusia diluar.
Ruangan ICU, yang berdekatan dengan ruangan Haemodialisa membuatku agak sedikit ngeri-ngeri sedap.
Di depan ruangan ICU, ada lagi ruangan.
Ruangan tunggu untuk pasien yang ingin mencuci darah, aku sudah punya tempat langganan untuk menulis berita dan menulis cerita,kursi paling pojok dekat colokan.
Aku duduk, ada beberapa Ibu-Ibu yang bercerita tentang HD yang mereka lakukan, di sampingku Ibu berusia 34tahun tak kutanya pula siapa namanya, yang pasti dia sudah 2tahun melakukan pencucian darah, kulihat masih tampak segar bugar, aku mikir kembali pasti Emakku juga bisa sembuh, yang cuci darah saja masih bisa makan ayam geprek dalam hatiku.
Dan ada ibu-ibu satu lagi.
Rumahnya di Serbelawan ia tampak sehat dan bugar, sudah 6 bulan melakukan pencucian darah.
“Kita harus semangat dek, itulah yang membuat kita bertahan hingga saat ini”
(Kata si Ibu yang tak ingin namanya dipublis ini)
Pikirku, hebat sekali ibu-ibu ini, kupikir selama ini cuci darah itu menyeramkan ternyata tidak terlalu, tapi apapun itu sehat adalah mahal.
Bersyukurlah ketika kita masih diberikan nikmat yang sempurna oleh Allah.
Maka hari ini, sudahkah kita bersyukur wahai sahabat pena?
*Bersambung….
Nb: jangan lupa difollow Instagram aku yahh
@zeevanyasuci
@_langkahsenja
Discussion about this post