Dua orang terdakwa Jhonny Ambarita dan Thomson Ambarita telah menjalani persidangan pledoi (pembelaan) di Pengadilan Negeri Simalungun. Dua terdakwa juga sudah dituntut Pasal 170 Ayat 1 KUHP dengan ancaman satu tahun enam bulan. Suasana persidangan juga tampak ramai dihadiri oleh komunitas masyarakat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) beserta organisasi mahasiswa GMKI dan PMKRI.
Komunitas Lamtoras beserta mahasiswa melakukan aksi demo di depan pintu masuk Pengadilan Negeri Simalungun, Senin (10/2/2020). Mereka berjanji terus mengawal proses persidangan mulai dakwaan hingga vonis. Sidang ini juga dikawal oleh Komisi Yudisial (KY).
Dua terdakwa Jhonny dan Thomson terlihat tenang duduk di bangku pesakitan. Mereka juga menyampaikan pembelaan secara lisan di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Rozianti. Terdakwa juga mempersiapkan secarik kertas dibacakan dihadapan hakim.
Dalam pembacaan itu, terdakwa meyakini hakim bahwa tidak ada melakukan pemukulan terhadap Humas PT TPL Bahara Sibuea dalam konflik agraria yang terjadi pada 16 September 2019. Terdakwa juga sempat mengucapkan umpama dengan bahasa Batak Toba.
Jhonny Ambarita yang diwawancarai usai persidangan mengatakan tidak ada melakukan pemukulan. Ia mengungkapkan dalam sidang dengan agenda mendengarkan saksi dan melihat alat bukti tidak ada yang menunjukkan telah melakukan pemukulan dengan kayu panjang terhadap Bahara Sibuea.
“Saya mohon supaya kami dibebaskan dalam tunntutan. Karena, jauh sebelum negara ini kami sudah menduduki areal tesb. Kami mmpertahankan wilayah adat kami. Malah kami yang dipenjarakan. Kami tak ada melakukan kekerasan dan perusakan lingkungan,”katanya.
Jhonny juga mengatakan ada oknum dari PT TPL yang dari dulu mencoba meganggu permukiman desa. Ia mencontohkan seperti ada karyawan PT TPL yang mendirikan tenda di dekat umbul (air bersih) sebagai kebutuhan pokok ritual adat warga. Oknum ini turut melakukan pengotoran dengan membuang hajat di umbul itu. Ihan Batak yang dipelihara di umbul itu juga menjadi mati.
“Ketika kami memerlukan bahan untuk ritual adat kami air kami sudah dicemari. Saya tidak ada melakukan pemukulan. Justru saya mengupayakan jangan ada pemukulan di sana. Tapi, ketika video dinampakkan di sana. Cuma suara saya untuk melerai,”kata Jhonny bapak empat anak ini.
Thomson Ambarita seorang bapak yang memiliki lima anak yang masih kecil ini juga mengaku tidak ada melakukan pemukulan. Bahkan, ia menjadi korban pemukulan oleh oknum karyawan PT TPL.
“Atas peristiwa itu, jujur saya akui tidak ada melakukan pemukulan pada siapa pun. Bahkan, saya menjadi korban pemukulan. Saya juga membuat pengaduan ke polisi 18 September. Tapi, saya tidak mendapatkan hasil yang maksimal dari kepolisian. Kenapa saya tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Apakah saya tidak bisa mempertahankan warisan opung saya. Saya sudah menduduki generasi sembilan. Itu pun hanya menjalankan perintah nenek moyang kami Dalihan Na Tolu. Saya tulang punggung keluarga. Saya punya lima anak dan masih kecil-kecil. mebutuhkan kasih sayang,”ujarnya.
Sementara Penasihat Hukum terdakwa Ronal Safriansyah juga turut membacakan pembelaan Jhonny dan Thomson. Ronal juga turut menceritakan sejarah Ompu Ambarita yang masuk ke Tanah Simalungun.
Ronal yakin kliennya tidak melakukan pemukulan dalam peristiwa itu. Karena, dari 12 saksi yang diajukan jaksa hanya tiga orang yang mengatakan terdakwa melakukan pemukulan dengan kayu. Sementara, banyak fakta-fakta dari saksi yang saling bertolak belakang.
“Ada empat rekaman video dari JPU dan satu dari kami. Itu pun tidak ada kedua terdakwa memukul dengan kayu. Tidak ada terlihat melakukan pemukulan. Saudara Jhoni datang untuk melerai. Kami sesalkan dikaitkan sebagai pelaku pemukulan,”ujarnya.
“Kami berharap hakim bisa memutuskan dengan bijaksana dengan fakta-fakta tersebut. Yang penting latar belakang dari kejadian itu yakni konflik agraria,”ujarnya.
Seperti diketahui, bentrok antara masyarakat adat Sihaporas dengan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terjadi di Desa Sihaporas, Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun pada 16 September 2019. Bentrok ini terjadi dengan dilatarbelakangi masalah tanah seluas 2.049 hektare. Warga yang sudah bermukim selama ratusan tahun bercocok tanam. PT TPL juga mengklaim lahan itu merupakan wilayah konsesi. Polisi memproses pengaduan dari karyawan TPL dengan barang bukti video, cangkul, dan kayu. Sementara, pengaduan warga yang juga menerima kekerasan tidak mendapatkan respon dari kepolisian.
Discussion about this post